Ariyah

 

Ariyah


Pengertian Ariyah

Dikutip dari buku Fiqih Pinjam Meminjam (Ariyah) karya Ahmad Sarwat, Lc., MA (2018), ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan. Sementara dalam ilmu fiqh, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah medefinisikan ariyah sebagai menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa imbalan.
Sementara para ulama Syafi’iyyah dan Hambalillah mendefinisikan ariyah sebagai izin menggunakan barang yang halal yang dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wuhudnya tanpa disertai imbalan.
Terdapat juga pengertian lain tentang ariyah, yaitu pengalihan kepemilikan dengan jaminan, yaitu yang mengeluarkan uang dari pemilik dan pihak lain menyatakan akan menjamin keutuhan bendanya jika barang dan menjaga nilainya jika berubah.

Hukum Ariyah

Hukum ariyah dapat berubah-ubah tergantung dengan kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukunya sunnah apabila peminjam (musta’ir) merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang (mu’ir). Ditambah pinjaman tidak menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat.
ADVERTISEMENT
Ariyah bisa menjadi wajib apabila peminjam dalam keadaan darurat sedangkan barang tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya. Misalnya, pada saat cuaca dingin, terdapat orang yang tidak mengenakan baju yang semestinya sampai merasa kedinginan. Maka, jika ada orang yang meminjamkannya baju menjadi sebuah kewajiban agar tidak membuat orang tersebut sakit.
Ilustrasi aktifitas ariyah. Foto: freepik.com/skata
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aktifitas ariyah. Foto: freepik.com/skata

Rukun Arayah

Menurut ulama Hanafiyyah, rukun ariyah terdiri dari ijab dan qabul. Ijab qabul tidak diwajibkan untuk diucapkan, namun cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam.
Namun menurut sebagian besar ulama berendapat bahwa terdapat beberapa rukun ariyah, yakni:
1. Mu’ir atau orang yang memberikan pinjaman dengan syarat:
  • Inisiatif sendiri bukan paksaan
  • Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila, budak mukatab tanpa ijin tuannya dan bukan dari orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab bangkrut atau tidak ada kecakapan dalam mengelola harta.
  • Memiliki manfaat barang yang dipinjamkan meskipun tidak mempunyai hak pada barang semisal dengan menyewanya bukan dengan hasil pinjaman dari orang lain karena manfaat barang yang di pinjam bukan menjadi haknya melainkan diperkenankan untuk memanfaatkannya.
ADVERTISEMENT
2. Mutsa’ir atau orang yang mendapat pinjaman dengan syarat:
  • Telah ditentukan, maka tidak sah akad ‘ariyah pada salah satu dari dua musta’ir yang tidak ditentukan.
  • Bebas dalam mengalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak kecil, orang gila atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui wali masing-masing
3. Mu’ar atau barang yang dipinjamlan dengan syarat:
  • Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka tidak sah akad ariyah pada koin emas atau perak dengan maksud untuk dijadikan sebagai hiasan, karena pada dasarnya manfaat dari koin tersebut bukan untuk hiasan.
  • Musta’ir dapat mengambil kemanfaatan mu’ar atau sesuatu yang dihasilkan darinya seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan anaknya atau meminjam pohon untuk diambil buahnya. Maka tidak sah akad ariyah pada barang yang tidak dapat dimanfaatkan seperti sapi yang lumpuh.
  • Mu’ar dimanfaatkan dengan membiarkannya tetap dalam kondisi utuh, Maka tidak sah akad ariyah pada makanan untuk dikonsumsi atau pada sabun untuk mandi karena pemanfaat tersebut dapat menghabiskan barang yang dipinjamkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar